Labuan Bajo

Konflik Kebijakan Energi Geothermal di Labuan Bajo

Labuan Bajo, dndsandyra.com –  Proyek eksplorasi energi panas bumi atau geothermal dalam periode pemerintah Jokowi, di Indonesia dilakukan untuk mengurangi pembakaran batu bara yang menyebabkan produksi karbondioksida berlebih.

Geothermal merupakan sumber energi yang relatif ramah lingkungan karena memanfaatkan panas bumi. Namun, proyek ini kerap menemui kendala di lapangan, salah satunya adalah penolakan yang berasal dari masyarakat. Penolakan dari masyarakat ini karena warga cenderung takut bila lingkungannya ikut tercemar.

Labuan Bajo, salah satu wilayah yang dilaksanakan proyek ini, dinilai merupakan wilayah potensi kawasan geothermal yang berpotensial dan menghadapi banyak konflik yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan energi geothermal di wilayah tersebut.

Masyarakat Desa Wae Sano pada awalnya merupakan pendukung geothermal yang mayoritas masyarakatnya merupakan pemilik lahan, kelompok penolak proyek dan kelompok netral.

Masyarakat yang mendukung tetap bertahan karena mendapat dana dari PT Sarana Multi Infrastruktur, dan mayoritas mulai menolak keberadaan dan aktivitas geothermal.

Kampung Nunang, merupakan kampung yang terkena dampak langsung dari lokasi pengeboran dan tempat penampungan gas atau panas bumi.

Hal tersebut menyebabkan masyarakat setempat menentang proyek geothermal karena dampak lingkungan, perubahan penggunaan lahan dan prospek ekonomi yang tidak menentu.

Langkah–langkah pemerintah dalam menerapkan kebijakan geothermal di Labuan Bajo mencakup penentuan lokasi dan alokasi sumber daya, yang dapat menimbulkan konflik jika kebutuhan dan keberlanjutan lingkungan setempat tidak diperhitungkan. Hal ini juga dapat menimbulkan ketidakpuasan masyarakat setempat.

Yosef menegaskan, alasan utama penolakan tersebut adalah karena lokasi pengeboran yang teridentifikasi berada di tengah-tengah tempat tinggal mereka. Meski perusahaan mengubah prioritas pengerjaan dari titik pengeboran B di Kampung Nunang menjadi Kampung Dasak, namun masyarakat tetap menolak.

Menurut Yosef, mereka tidak mempersoalkan pemindahan titik. Namun, hal ini disebabkan titik pengeboran yang berada di kawasan mereka.

“Yang kami maksudkan dengan ruang hidup adalah kesatuan yang utuh dan tak terpisahkan antara pemukiman (Golo Lonto, Mbaru Kaeng, Natas Labar), kebun pencaharian (Umat Duat), sumber air (Wae Teku), pusat kehidupan adat (Compang Takung, Mbaru Gendang), kuburan leluhur (Lepah Boak) dan hutan (Puar) dan danau (Sano),” katanya.

“Sebab itu, kami menolak semua titik pengeboran yang sudah ditetapkan baik Kampung Lempe, Nunang maupun Dasak,” tegas Yosef.

Langkah-langkah pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan geothermal di Labuan Bajo, seperti pemilihan lokasi dan alokasi sumber daya, dapat menjadi sumber konflik jika tidak mempertimbangkan kebutuhan dan keberlanjutan lingkungan setempat.

Keterlibatan pemerintah daerah dalam pengambilan keputusan terkait energi geothermal di Labuan Bajo menjadi faktor penting yang dapat mempengaruhi dinamika konflik. Keterlibatan yang kurang atau tidak tepat pun dapat memunculkan ketidakpuasan.

Source : dndsandyra.com
Kontributor : Angel Anggalia
Editor : Haya Azzura Rassya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *