Ilustrasi kerja bakti di sekolah

Miskonsepsi Feminisme Dalam Pendidikan

Kediri, dndsandyra.com – Ada penggalan kata dalam buku belajar membaca dan menulis jadul legendaris karya Siti Rahmani Rauf yang berbunyi “Ini Ibu Budi, Ini Bapak Budi”.

Buku ini semakin mudah dipahami dengan disisipkan ilustrasi yang menceritakan keseharian Budi dan keluarganya.

Ilustrasi tersebut menggambarkan Budi berjalan ke luar rumah, bapak Budi membaca koran, ibu Budi menjahit, dan kakak perempuan Budi mengelap jendela.

Ilustrasi lainnya menggambarkan Budi dan bapak Budi membawa ember dan sekop, sedangkan ibu dan kakak perempuan Budi sedang memetik bunga.

Feminist Movement

Pergerakan feminisme bermula di Eropa dan Amerika Serikat. Namun, hal ini tidak berarti bahwa isu kesetaraan gender hanya terjadi di belahan bumi barat saja.

Gejolak perempuan untuk mendapatkan kesetaraan sudah ada sejak lama. R.A. Kartini dan Dewi Sartika merupakan dua pelopor feminisme di Indonesia.

kedua tokoh wanita tersebut telah lama memperjuangkan kedudukan kaumnya, namun hingga sekarang masih bisa terlihat ketidakmerataan yang dialami sebagian perempuan.

Perlu digaris bawahi bahwa feminisme tidak pernah mengharuskan perempuan untuk bebas atau mendominasi siapapun.

Sebaliknya, feminisme mendukung kesejahteraan yang adil bagi perempuan maupun pria.

Education is Weapon

Pendidikan merupakan landasan penting bagi kemajuan suatu negara.

Hal ini berdasarkan Pasal 31 UUD 1945 yang menyatakan: (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan; (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Hal tersebut berpengaruh terhadap pemerataan kesejahteraan nasional, salah satunya yaitu pada bidang pendidikan.

Faktanya, kita masih menghadapi kesenjangan pendidikan yang mengarah pada persoalan gender.

Ada banyak faktor yang turut menyebabkan tidak meratanya pendidikan di Indonesia, diantaranya adalah faktor ekonomi dan sosial.

Kondisi ekonomi seringkali memaksa anak untuk berhenti sekolah dan membantu keluarganya mencari uang.

Sementara dari segi sosial, tidak sedikit keluarga yang mendukung anak laki-lakinya untuk bersekolah lebih tinggi dari pada anak perempuan.

Fenomena ini juga dipengaruhi oleh stereotip bahwa anak perempuan tidak harus bersekolah tinggi, karena kodratnya menjadi istri dan ibu yang akan mendedikasikan hidupnya untuk mengurus suami dan anak di rumah.

Paradoks Feminisme dalam Ranah Pendidikan

Menurut Mia, Ketua Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia, ada tiga ranah terkait diskriminasi gender dalam dunia pendidikan yaitu dari segi struktural, kultural dan individual.

Pertama, dari segi struktural. Misalnya pada beberapa sekolah masih kita jumpai kamar mandi yang belum memadai dan mendukung perbedaan kebutuhan antara perempuan dan laki-laki.

Sebenarnya pernyataan ini bisa saja bersifat bias, karena perempuan dianggap lebih pemilih daripada laki-laki. Sebaliknya, hal ini semakin menyoroti kenyataan bahwa fasilitas jamban atau toilet terpisah di sekolah merupakan hal yang sangat penting bagi anak perempuan.

Apalagi pada tiga hari pertama siswa perempuan menstruasi, mereka ingin fasilitas kamar mandi yang aman dan nyaman.

Kedua yakni segi kultural. Hal ini juga terlihat dalam kehidupan sehari-hari, dimana masyarakat secara tidak sengaja seringkali mengkotak-kotakkan beberapa pekerjaan tertentu yang diidentikan dengan pekerjaan laki-laki dan perempuan.

Misalnya ketika di sekolah ada kegiatan kerja bakti, biasanya siswa laki-laki lebih memilih untuk mengerjakan tugas yang dianggapnya maskulin seperti mengangkat meja kursi dan memasang atau memaku dinding untuk memasang mading.

Sementara siswa perempuan biasanya menyapu, mengelap, dan misal ada lomba mading maka perempuan lebih dominan dalam mengisi konten dan menghias mading tersebut.

Berdasarkan kasus tersebut, dapat dilihat bahwa kenyataannya kebanyakan budaya masih mengadopsi prinsip bahwa kebersihan merupakan tanggung jawab perempuan saja.

Faktanya, paradoks feminisme ingin meluruskan bahwa segala hal yang dilakukan secara kerja sama akan terasa lebih mudah dan bermakna, hendaklah menjadi tanggung jawab bersama karena sama-sama menggunakan fasilitas tersebut.

Ketiga yakni dari segi individual. Hal ini mengembalikan aspek struktural dan budaya pada masing-masing individu.

Permasalahan diskriminasi gender dalam dunia pendidikan perlu diselesaikan karena merupakan komponen penting dalam menciptakan kemajuan bangsa.

Apalagi di zaman sekarang, ketidaksetaraan gender sudah menjadi hal yang normal dalam budaya kita, sehingga menjadikannya semakin sulit untuk diatasi.

Untuk mengatasi permasalahan diskriminasi memerlukan kerja sama dan kesadaran setiap individu.

Pola pikir yang maju penting untuk menciptakan lingkungan sekolah yang menyenangkan tanpa merasa dibedakan antar gender.

Source : dndsandyra.com
Kontributor : Wulan Probo Bintari, S.M., S.S.
Editor : Haya Azzura Rassya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *